Mengenal Perniagaan Haram

Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA

PENDAHULUAN

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senan­tiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kelu­arga, dan sahabatnya.

Mengais rezeki untuk menyambung hidup, agar dapat berbakti dan mengabdi kepada Allah Ta’ala, adalah sesuatu yang luhur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Engkau pergi mencari kayu bakar dan memang­gulnya di atas punggungnya, dan dari hasil kerjamu ini engkau bersedekah dan mencukupi kebutuhanmu (sehingga tidak meminta kepada) orang lain. Itu lebih baik dari pada engkau meminta-minta kepada orang lain, baik akhirnya orang itu memberi atau menolak permintaanmu. Karena sesungguhnya tangan yang di atas itu lebih utama daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah (nafkahmu dari) orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu. ” (Riwayat al-Bukhari hadits no. 2362dan Muslim hadits no. 1033)

Namun, yang demikian itu bukan berarti Anda bebas mengais rezeki dari jalan apa pun yang Anda suka. Salah dalam menjatuhkan pilihan, nis­caya Anda sengsara dunia akhirat. Hidup di du­nia tidak berkah dan akhirat menanggung siksa di neraka. Selektif dan senantiasa waspada adalah satu-satunya cara untuk bisa selamat dalam men­gais rezeki. Hendaknya Anda selalu merasa puas dengan rezeki yang halal dan menjauhi setiap yang haram atau syubhat.

Allah Ta’ala berfirman :

Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku maka sesungguhnya binasalah ia. (QS. Thoha [20] : 81)

Percayalah, Anda pasti bisa menikmati jatah rezeki yang telah ditentukan Allah Ta’ala untuk Anda.

“Wahai umat manusia, bertakwalah kepada Allah dan berlaku baiklah dalam mengais rezekimu. Karena sesungguhnya engkau tidaklah akan mati, hingga engkau Mengenyam seluruh rezekimu, walaupun telat datangnya. Bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (Riwayat Ibnu Majah hadits no. 2144, dan di­nyatakan hasan oleh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Aha­dits Shohihah : 6/865 hadits no. 2866).

Karenanya, tiada pilihan bagi Anda selain mengenali hal-hal yang menyebabkan suatu mata pencaharian diharamkan dalam syariat, agar dapat mewaspadainya. Demikianlah implementasi ketakwaan anda dalam urusan rezeki :

Tinggalkanlah seluruh dosa, yang kecil

Dan pula yang besar, itulah sejatinya takwa

Bersikaplah bak pejalan di atas ladang

Berduri, mewaspadai duri-duri yang ada.

ALASAN-ALASAN SUATU NIAGA DIHARAMKAN

AI-Imam Ibnu Rusyd al-Maliki rahimahullah berkata, Bila engkau meneliti berbagai alasan syari’at mengharamkan suatu perniagaan, terutama yang bersifat umum pada segala jenis perniagaan, nis­caya engkau dapat merangkumnya dalam empat hal :

1. Barang yang menjadi objek perniagaan adalah barang yang diharamkan.

2. Adanya unsur riba.

3. Adanya ketidakjelasan status (ghoror).

4. Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan ghoror).

Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan suatu perniagaan terlarang.” (Bidayatul Mujtahid: 2/102)

Keempat faktor yang disebutkan oleh al-Imam Ibnu Rusyd di atas, adalah faktor utama penyebab dilarangnya suatu akad niaga, dan terutama yang terdapat pada rangkaian akad. Dari keempat faktor tersebut, pada kesempatan ini kita akan memulai de­ngan membahas faktor ketiga. Sebab, faktor pertama dan kedua—dengan izin Alloh—akan kita bahas se­cara terpisah pada edisi selanjutnya. Mengingat ke­dua faktor tersebut membutuhkan pembahasan yang lebih terperinci.

PENGARUH GHOROR DALAM JUAL BELI

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli ghoror (tidak jelas statusnya). (Riwayat Muslim hadits no. 3881)

Model perniagaan yang tercakup oleh hadits ini sangatlah banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya. Al-Baji menjelaskan, “Bila hal ini telah diketahui dengan baik, maka ketahuilah bahwa ghoror dapat terjadi dari tiga arah : (1) akad, (2) harga atau barang yang diperjualbelikan, dan (3) tempo pembayaran atau penyerahan barang.” (al-Muntaqo oleh al-Baji : 5/41).

Ibnu Rusyd al-Maliki rahimahullah lebih terperinci men­egaskan, “Di antara akad jual beli yang terlarang ialah berbagai jenis akad jual beli yang berpotensi menimbulkan kerugian pada orang lain karena adanya ketidakjelasan. Ketidakjelasan dalam akad jual beli dapat ditemukan pada :

1. ketidakpastian dalam penentuan barang yang diperjualbelikan,

2. ketidakpastian akad,

3. ketidakpastian harga,

4. ketidakpastian kriteria barang yang dijual­belikan,

5. ketidakpastian jumlah harga atau barang,

6. ketidakpastian tempo pembayaran atau pe­nyerahan barang (bila pembayaran atau peny­erahan barang ditunda),

7. ketidakpastian ada tidaknya barang atau ketida­kpastian apakah penjual berkuasa menyerahkan barang yang ia jual, dan

8. ketidakpastian utuh tidaknya barang yang di­perjualbelikan. (Bidayatul Mujtahid: 2 / 148)

Tidak diragukan bahwa adanya ketidakpastian pada salah satu hal di atas dapat menjadi pemicu terjadinya persengketaan dan permusuhan an­tara sesama muslim, sedangkan perpecahan serta perselisihan sudah barang tentu tidak diinginkan secara syari’at. Oleh karena itu, syari’at Islam me­nutup pintu ini, guna menjaga keutuhan persatuan dan keterjagaan, Hubungan yang harmonis antara semua komponen umat Islam.

Ibnu Rusyd al-Maliki rahimahullah berkata, “Secara glo­bal, seluruh ulama ahli fiqih sepakat bahwa tidak dibenarkan adanya ketidakpastian (ghoror) yang besar pada setiap akad jual beli. Sebagaimana me­reka juga sepakat bahwa ghoror yang kecil dimaaf­kan. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam beberapa bentuk akad jual beli, apakah ghoror yang terdapat padanya termasuk ghoror yang besar sehingga terlarang, atau termasuk yang kecil sehingga dimaafkan? Perbedaan itu terjadi dikarenakan ghoror yang dimaksud berada di ten­gah-tengah antara ghoror yang besar dan ghoror yang kecil.” (Bidayatul Mujtahid : 2/154-155)

PERINGATAN PENTING

Kadang kala sebagian ghoror dimaafkan, terutama bila ada alasan yang ditolerir. Berikut ini beberapa contoh ghoror yang ditolerir.

- Membeli atau menjual rumah, walaupun kondisi si fondasinya tidak diketahui oleh kedua belah pihak. Anda bisa bayangkan betapa susahnya bila kita syaratkan agar fondasi rumah diketahui oleh kedua pihak.

- Anda juga dibolehkan untuk membeli atau menjual kambing bunting, induk dan anak yang ada dalam perutnya secara bersamaan. Demikian pula menjual sapi perah, walaupun Anda tidak mengetahui seberapa banyak kadar susu yang ada di kambingnya.

Ketentuan ini sebagai salah satu aplikasi nyata dari kaidah ilmu fiqih :

“Kadang suatu hal yang terlarang menjadi halal bila dilakukan bersama yang lain, tetapi tidak ketika sendiri.”

Walau demikian, bukan berarti Anda bebas sesuka hati dalam menolerir unsur ghoror (ketidakpas­tian). Karena ternyata para ulama telah menggaris­kan satu kaidah dalam menilai apakah ghoror yang ada termasuk yang terlarang atau yang ditolerir.

Al-Imam al-Mawardi asy-Syafi’i rahimahullah memberi­kan pedoman bagus dan jelas, kepada kita dalam mengidentifikasi ghoror yang ada pada suatu akad. Beliau berkata :

“Hakikat ghoror yang terlarang dalam akad jual beli ialah suatu keadaan yang memiliki dua kemungki­nan, tetapi kemungkinan buruklah yang lebih besar peluangnya. ” (al-Hawi al-Kabir : 3/25)

Dan pada kesempatan lain, beliau rahimahullah berkata :

“Ghoror ialah suatu keadaan yang memiliki dua kemungkinan, dengan peluang yang sama-sama besar atau kemungkinan buruknya lebih besar peluangnya.” (al-Hawi al-Kabir : 7/869).

Dari keterangan al-Mawardi-dan juga lainnya-dapat disimpulkan bahwa batasan ghoror yang terlarang dari yang dimaafkan adalah :

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah menegaskan bahwa batasan untuk membedakan jual beli yang batal dari yang tidak karena adanya faktor ghoror adalah apa yang telah saya jelaskan di atas, yaitu :

1. apabila keadaan mengharuskan adanya ghoror

2. tidak mungkin dihindari kecuali dengan mendatangkan hal-hal yang sangat menyusahkan

3. kadar ghorornya kecil alias remeh, maka halal jual beli tersebut.

Namun, bila satu dari ketiga ini tidak terpenuhi, maka haram hukumnya.

Perselisihan para ulama pada sebagian akad yang ada kaitannya dengan masalah ini bersumber dari perbedaan mereka dalam menerapkan ketentuan ini. Misalnya, jual beli barang yang tidak ada di majelis akad. Sebagian mereka menganggap ghoror yang ada padanya kecil, sehingga tidak layak untuk dipermasalahkan. Namun, sebagian lainnya menganggap ghorornya besar, sehingga ia pun menganggapnya tidak sah. Wallohu A’lam. (Syarh Shohih Muslim oleh an-Nawawi : 10/156)

MENGAPA GHOROR HARAM?

Mungkin Anda berkata, “Bukankah dibolehkan bagi pemilik harta untuk nienghibahkan hartanya tanpa imbalan sama sekali? Lalu mengapa bila ia berspekulasi, sehingga bisa dapat imbalan dan bisa tidak, atau mendapatkan imbalan yang tidak setimpal kok diharamkan?

Ketahuilah saudaraku, bila sedari awal Anda telah meniatkan sedekah atau hadiah, maka Anda pasti tidak mengharapkan imbalan. Bahkan harap­an mendapatkan imbalan di dunia adalah suatu hal yang dihararnkan. Dengan demikian, bila orang yang Anda beri hadiah atau sedekah tidak memba­las budi baik Anda maka Anda tidak akan kecewa, menyesal, dan juga tidak akan menuntutnya.

Beda halnya dengan perniagaan, Anda meng­harapkan imbalan yang setimpal dengan apa yang Anda bayarkan. Dengan demikian, bila Anda tidak mendapatkan imbalan atau mendapat imbalan yang tidak senilai, maka niscaya Anda kecewa, me­nyesal, dan menuntut saudara Anda. Bahkan tidak jarang, benih-benih permusuhan dan kebencian mulai bersemi dan tidak lama kemudian berbuah tindakan. Simaklah firman Allah Ta’ala berikut :

Sejatinya setan hanyalah ingin mengobarkan api permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman khamar dan perjudian. (QS. al-Ma’idah [5] : 91)

Pada ayat ini dengan tegas Alloh menjelaskan bahwa diantara alasan diharamkannya perjudian adalah karena perjudian memancing terjadinya kebencian dan permusuhan. Tidak heran bila setiap hal yang dapat memicu terjadinya kedua hal ini diharamkan. Cermatilah permusuhan dan kebencian yang terjadi di masyarakat Anda. Kebanyakannya bermula dari perniagaan yang tidak jelas, bukankah demikian saudaraku?

Disamping itu, ada faktor-faktor lain yang menjadikan suatu perniagaan dilarang, namun faktor-faktor tersebut merupakan faktor sekunder dan bersumber dari luar akad. Faktor-faktor tersebut ialah :

1. Waktu

Seorang muslim dilarang berniaga setelah muadzin mengumandangkan adzan kedua pada hari Jum’at. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru un­tuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka ber­segeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggal­kanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Jumu’ah [62]: 9)

Al-Imam Ibnu Rusyd rahimahullah : berkata, “Setahuku, ketentuan hukum ini telah disepakati oleh para ulama, yaitu haram berjual beli ketika azan pada hari Jumat yang dikumandangkan ketika ma­tahari telah tergelincir dan imam telah berada di atas mimbar …. Dan hukum ini hanya berlaku bagi orang yang berkewajiban menjalankan sholat Jum’at.” (Bidayatul Mujtahid: 2/169)

2. Tempat

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadan­ya, ‘Semoga Alloh tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan barang hilang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Alloh tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’”- (Ri­wayat at-Tirmidzi hadits no. 1321, dan oleh al‑Albani rahimahullahdinyatakan sebagai hadist shohih dalam kitab Irwa’ul Gholil : 5/134 no. 1295).

Dahulu Atho’ bin Yasar rahimahullah bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (Riwayat al-Imam Malik dalam kitab al-Muwaththo’ : 2/244 no. 601)

Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual beli di dalam masjid. Dan perlu diketahui bahwa menurut sebagian ulama hukum ini juga berlaku pada teras masjid, bila berada dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan :

”Sekeliling sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (al-Asybah wa an-Nazho’ir oleh as-Suyuthi : 240)

Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fiqih dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Dan di antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syub­hat), banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormtannya. Se­dangkan barang siapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Pe­rumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan (gembalaannya) di sekitar wilayah larangan (hutan lindung), tak lama lagi gembalaan­nya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan. Ketahuilah bahwa wilayah larang Alloh adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (Riwayat al-Bukhari hadits no. 52 dan Muslim hadits no. 1599).

Akan tetapi, bila teras tersebut berada di luar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan, atau gang maka tidak berlaku padanya hukum masjid. Penjelasan ini selaras dengan fatwa Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi (al-Lajriah ad-Da’imah) pada fatwa no. 11967.

3. Penipuan

Penipuan dalam segala urusan adalah haram. Wajar bila penipuan terjadi pada akad perniagaan, maka menjadikan perniagaan tersebut diharamkan :

“Kedua orang yang saling berniaga memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah, dan bila keduanya berlaku jujur dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka penjualannya, dan bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan penjualannya.” (Riwayat al-Bukhari hadits no. 2069)

Pada hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan :

“Barang siapa menipu kami, maka tidak termasuk golongan kami.” (Riwayat Muslim hadits no. 45)

4. Merugikan orang lain

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Janganlah engkau saling hasad, menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), membenci, merencanakan kejelekan, dan janganlah sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Alloh yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak layak baginya untuk menzhalimi saudaranya, membiarkannya dianiaya orang lain, dan menghinanya.’” (Riwayat al-Bukhari hadits no. 6065 dan Muslim hadits no. 6695)

Diantara bentuk-bentuk perniagaan yang merugikan orang lain ialah :

a. Menimbun barang dagangan

Di antara bentuk aplikasi dari prinsip ini ialah diharamkannya menimbun barang kebutuhan masyarakat banyak, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

”Barang siapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa.” (Riwayat Muslim, hadits no. 4206)

b. Melangkahi penawaran atau penjualan sesama muslim

”Janganlah kamu menghadang orang-orang kampung yang membawa barang dagangannya (ke pasar). Janganlah sebagian dari kamu melangkahi penjualan sebagian yang lain. Jangan pula kamu saling menaikkan tawaran suatu barang (tanpa niat untuk membelinya). Dan jangan pula orang kota menjualkan barang dagangan milik orang kampung.” (Riwayat al-Bukhari hadits no. 2150 dan Muslim hadits no. 3898)

c. Percaloan

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , ’Janganlah orang kota menjualkan barang-barang milik orang kampung. Biarkanlah masyarakat, sebagian diberi rezeki oleh Allah dari sebagian lainnya.’” (Riwayat Muslim hadits no. 3902)

PENUTUP

Semoga paparan singkat tentang pengaruh ghoror pada kehalalan perniagaan ini dapat menggugah iman dan kesadaran Anda. Dengan demikian, perniagaan Anda mendatangkan keberkahan dan kedamaian dlam hidup Anda, juga masyarakat luas. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab.

Sumber: Majalah AL FURQON no. 112 edisi 09 th. Ke 10 Robi’ul Akhir 1432H/Maret 2011M

http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/04/24/mengenal-perniagaan-haram/#more-5423