Isteri Teladan, Zainab binti Hudair


Asy Sya’bi menceritakan bahwa setelah Syuraih menikah dengan perempuan dari Bani Tamim, ia berkata kepadanya: “Hai Sya’bi… nikahilah wanita Bani Tamim, karena merekalah wanita yang sebenarnya”.

“Bagaimana bisa begitu?” tanyaku.

“Aku pernah lewat di kampung Bani Tamim, maka kulihat ada seorang wanita yang duduk di atas bantal, dan di depannya ada gadis dengan wajah tercantik yang pernah kulihat. Aku pun mampir untuk minta minum kepada si wanita…” kata Syuraih.

“Minuman apa yang kau suka” tanya si wanita.

“Apa saja deh, seadanya” jawabku.

“Beri dia susu, karena nampaknya ia orang dari jauh” perintah si wanita.

Setelah minum, kutatap si gadis tadi dan aku kagum terhadapnya…

“Siapa dia?” tanyaku.

“Puteriku” jawab si wanita.

“Siapa namanya” tanyaku lagi.

“Zainab binti Hudair dari Bani Tamim, tepatnya Bani Hanzhalah” katanya.

“Dia masih ‘kosong’ atau sudah ada yang meminang?” tanyaku lagi.

“Masih ‘kosong’ ” jawabnya.

“Maukah kau menikahkannya denganku?” tanyaku.

“Ya, kalau kamu pantas untuknya” jawabnya.

Maka kutinggalkan dia dan aku pulang ke rumahku untuk tidur siang sejenak…. Tapi aku tak bisa tidur nyenyak, dan selepas shalat dhuhur, kuajak beberapa sahabatku yang merupakan pemuka orang Arab dan kami tetap bersama hingga melaksanakan shalat ‘Asar berjama’ah. Tiba-tiba kulihat paman si gadis duduk di mesjid,

“Abu Umayyah (panggilan Syuraih), apa hajatmu?” tanyanya.

Maka kuceritakan keinginanku kepadanya, kemudian ia menikahkanku… mereka yang hadir pun mendoakan keberkahan bagiku lalu kami bubar dari majelis itu.

Belum lagi aku sampai ke rumah, aku menyesal !! Aku berkata dalam hati: “Aku telah menikahi suku Arab yang paling keras dan kasar”… segera terlintas dalam benakku gambaran wanita-wanita Bani Tamim dan betapa kerasnya hati mereka.

Aku pun berniat menceraikannya, namun aku segera berubah pikiran dan ingin mencoba terlebih dahulu… kalau aku mendapati apa yang kusukai padanya maka kubiarkan, namun jika tidak maka kuceraikan.

Beberapa hari kulalui bersamanya… lalu datanglah wanita-wanita kerabatnya memberi hadiah untuknya. Setelah ia tinggal di rumahku, kukatakan kepadanya:

“Hei, tahu gak sih bahwa sunnahnya jika seorang isteri bertemu suaminya, hendaknya si suami dan isteri shalat dua roka’at”… lalu aku bangkit untuk shalat. Ketika kulihat kebelakang, ternyata ia juga sedang shalat. Maka usai shalat, datanglah gadis-gadis kecil pelayannya kepadaku, lalu mereka melepaskan pakaian luarku dan memberiku selimut yang telah dicelup za’faran (sejenis wewangian).

Begitu rumahku sepi dari orang-orang, kudekati dia dan kuulurkan tanganku ke arahnya…

“Tunggu dulu…” katanya.

“Wah, dia bukan orang lugu… apes juga nasibku” kataku dalam hati. Maka kuucapkan puji syukur kepada Allah dan shalawat atas Nabi.

“Aku adalah wanita Arab… dan demi Allah, aku tak pernah melangkahkan kakiku kecuali kepada apa yang diridhai Allah, sedangkan engkau adalah lelaki asing dan aku belum mengenal kepribadianmu” katanya.

“Maka jelaskan kepadaku apa saja yang kau sukai supaya kulakukan, dan apa saja yang tidak kau sukai supaya kutinggalkan” lanjutnya.

Maka kujelaskan kepadanya bahwa aku menyukai hal ini dan itu, dan aku tidak menyukai hal ini dan itu.

“Bagaimana menurutmu tentang besan-besanmu, apa kau suka jika mereka mengunjungimu?” tanyanya.

“Aku adalah seorang qadhi (hakim), dan aku khawatir jika mereka bosan denganku” jawabku.

Maka aku pun melalui malam terindah dan tinggal selama tiga hari bersamanya. Setelah itu aku mendatangi ke majelis sidang, dan tidak pernah kulihat dia pada suatu hari, melainkan dia lebih baik dari sebelumnya. Hingga pada akhir tahun, saat aku masuk rumah, tiba-tiba kudapati seorang perempuan tua yang menyuruh-nyuruh dan melarang-larang…!!

“Hai Zainab, siapa perempuan ini?” tanyaku.

“Ibuku” jawabnya.

“Oh, marhaban (selamat datang) !” sambutku.

“Hai Abu Umayyah, bagaimana engkau dan keadaanmu?” tanyanya.

“Baik, Alhamdulillah” jawabku.

“Bagaimana isterimu?” tanyanya.

“Ia adalah isteri terbaik dan pendamping paling pas. Engkau telah mendidik dan mengajarinya dengan sangat baik” jawabku.

“Sesungguhnya, seorang isteri akan menjadi sangat buruk perilakunya bila mengalami dua hal: bila mendapat segalanya dari sang suami, dan bila melahirkan bayi laki-laki. Maka bila kau dapati sesuatu yang tidak kau sukai padanya, cambuk saja. Sebab tidak ada penghuni rumah yang lebih buruk bagi seorang lelaki melebihi isteri yang bodoh dan manja” katanya.

Demikianlah si ibu hanya mendatanginya sekali dalam setahun. Isteriku lantas bertanya setelah itu: “Bagaimana semestinya besan-besanmu mengunjungimu?”.

“Sesuka mereka” jawabku.

“Aku tetap hidup bersamanya selama dua puluh tahun, dan selama itu tak pernah ada sikapnya yang kucela dan aku juga tak pernah marah kepadanya”.[1]


[1] Disadur dari Tarikh Dimasyq 23/51 dan 55/88, tulisan Al Hafizh Ibnu Asakir.


http://basweidan.wordpress.com/2010/03/15/isteri-teladan-zainab-binti-hudair/

Photo by dreamstime


Cinta Sepanjang Masa


Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampai pun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Suatu hari istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.” (HR. Bukhari)


Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.


Saat menikah, Khadijah radhiyallahu ‘anha berusia 40 tahun sementara Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.


Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.

Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah)


Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.” (HR. Bukhari)


Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)


Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”

Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?

Maraji:

1. Rumah Tangga tanpa Problema (terjemahan dari Al Usratu bilaa Masyaakil) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih

2. Sirah Nabawiyah (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury

3. Al Quran dan Terjemahnya

http://muslimah.or.id/kisah/cinta-sepanjang-masa.html

Foto : Filomena Scalise / Freed******photos.net