Oleh : Ustadz Abdur Rohman al-Buthoni



Menurut syari’at Islam yang mulia, anak-anak tidak dikenai beban syari’at selagi dia belum baligh. Namun mereka harus dididik dan dilatih sejak masa anak-anak agar menjadi terbiasa melakukan syari’at ketika telah dewasa.

Apabila syari’at memerintahkan para orang tua dan wali agar memerintah anak-anak mereka untuk menunaikan sholat, maka wajib bagi orang tua dan para murobbi untuk mengajarkan kepada mereka perihal thoharoh sesuai dengan thoharohnya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan kepada mereka sifat wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, syarat sah, rukun-rukunnya dan hal-hal yang membatalkannya. Demikian pula harus mengajarkan tata cara sholat sesuai dengan sholat Rosululloh karena sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tunaikanlah sholat seperti kalian melihat aku sholat.” (HR. Bukhori 6008).

Hendaknya anak diajari teori sekaligus praktiknya dengan diajak memperhatikan tata cara wudhu dan sholat bapak ibunya atau mengajaknya melakukan sholat dan berdiri di samping orang tuanya untuk mengambil secara langsung tata cara sholat yang benar.

Ini mengingatkan orang tua, para murobbi dan para guru TK dan SD agar mengajarkan do’a dan dzikir-dzikir dalam wudhu dan sholat sebelum yang lainnya. Hal ini perlu kita perhatikan sebab sebagian guru ada yang lebih mendahulukan do’a dan dzikir yang lain, seperti do’a berpakaian atau yang lainnya, daripada do’a dan dzikir dalam wudhu dan sholat.

Sistem pengajaran seperti itu tentu salah bila ditinjau dari sisi ini, sebab syari’at belum memerintahkannya. Dan jikalau anak mengamalkannya pun tidak terlalu berarti bila dibandingkan dengan do’a dalam wudhu dan sholat yang dituntut untuk dihafal dan diamalkan setelah mencapai usia 7 tahun, sebagaimana anjuran Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila bisa didapat kedua-duanya tentu lebih baik


Pokok-Pokok Pengajaran Sholat

Pokok-pokok pengajaran yang harus diberikan kepada anak berkaitan dengan masalah sholat adalah sebagai berikut :

- Ilmu tentang syarat sahnya sholat, rukun, wajib dan sunnah-sunnahnya.

- Tata cara pelaksanaannya dari takbirotul ihrom hingga salam meliputi gerakan-gerakannya, bacaan dan dzikir-dzikirnya, jumlah gerakan atau jumlah bacaan dan dzikir.

- Sifat-sifat gerakan, seperti sifat tangan atau jari-jari tangan ketika takbirotul ihrom atau ketika posisi yang lainnya, apakah dengan menggenggam jari-jari atau dengan membuka dan rapat, ataukah membuka dengan merenggangkan jari-jari lurus ke atas atau melengkung ke bawah.

- Sifat bacaannya, antara yang sir dan yang jahr, juga panjang pendeknya suatu gerakan dan bacaan, seperti gerakan tangan ketika takbirotul ihrom apakah perlahan-lahan hingga beberapa menit baru sampai ke bahu atau daun telinga ataukah bagaimana. Demikian juga dengan bacaan-bacaannya, misalnya apakah melafazhkan takbir dengan bacaan panjang seperti “Alloooooooohuuu Akbaaaaar” ataukah tidak.

- Mengajarkan yang sholih dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan yang tidak sholih.

- Mengajarkan nama-nama sholat dan waktu-waktunya serta bilangan roka’atnya.

- Mengajarkan tata cara berpakaian yang wajar di dalam sholat.

- Menanamkan akidah (keyakinan) bahwa orang yang sholat itu sedang menghadap Alloh Ta’ala. Maka, apabila kita menghadap kepala desa atau orang kaya saja tidak bolah bermain-main, tentunya menghadap Alloh, Sang Penguasa langit dan bumi dan seluruh alam semesta, lebih sangat tidak layak untuk bermain-main.

- Mengajarkan syarat syahnya sholat yang paling utama, yaitu thoharoh dan berwudhu, hal ini meliputi :

• Tata cara membersihkan najis tinja dan kencing sehingga benar-benar suci dan tidak membawa najis dalam sholat. Mengenalkan kepada mereka benda-benda yang najis agar mereka jauhi, terutama ketika sholat.

• Mengajarkan tata cara berwudhu, dzikir sebelum dan sesudahnya, tata cara penggunaan air yang sesuai dengan sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh boros sekalipun banyak air, urut-urutannya dan bilangan-bilangannya.

• Tata cara membasuh, apakah membasuh dengan menyiramkan air ataukah cukup dengan mengusap tanpa menyiramkan air. Juga menjelaskan tentang sifat membasuh atau mengusap.

• Mengajarkan kepada mereka anggota-anggota wudhu dan hal-hal yang berkaitan dengannya, apakah yang penting anggota wudhu tersebut terkena air sehingga cukup dicelupkan ke dalam air ataukah harus diusap dan diratakan dengan tangan.

• Mengajarkan kepada mereka batas-batas anggota wudhu, dari mana hingga ke mana.

• Mengajarkan kepada mereka tata cara adzan dan iqomat. Lafazh-lafazhnya dan bagaimana menjawab jika mendengar adzan dan juga do’a sesudah adzan bagi yang mendengar. Juga tentang tata cara melafazhkannya, yaitu tidak boleh berlebihan dengan memanjangkan lafazh yang seharusnya pendek atau sebaliknya, atau lafazh yang panjang dilebihkan dari kadarnya sehngga terlalu panjang, atau dengan merusak lafazh, seperti “Allohu Akbar” menjadi “Aulohuu Akbaruu”.

• Mengajarkan kepada mereka tentang batas-batas aurat dalam sholat, sebab aurat itu ada 2 : aurat yang berkaitan dengan pandangan mata dan aurat yang berkaitan dengan hak Alloh. Atau dengan istilah lain, berbeda antara aurat di luar sholat dengan aurat di dalam sholat. Contoh, anak kecil yang belum baligh tidak ada auratnya sehubungan dengan pandangan mata, meski begitu ia tidak boleh menunaikan sholat dalam keadaan telanjang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Janganlah salah seorang di antara kalian melakukan sholat dengan mengenakan satu pakaian saja, yang (dengan begitu) kedua pundaknya tidak tertutup.” (HR. Bukhori 359 dan Muslim 516).

Sabda Rosululloyh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya :

“Alloh tidak menerima sholat wanita yang telah baligh kecuali dengan menutup kepala.” (Shohih Abu Dawud 641 dan Tirmidzi 377).


Pentingnya Keteladanan


Semua orang sepakat bahwa mengajar dengan praktik dan memberi contoh secara langsung jauh lebih berpengaruh positif pada pemahaman anak daripada hanya teori semata. Karena itulah hendaknya para murobbi tidak lalai dari manhaj ta’lim (metode pengajaran) ini sebab inilah yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Suatu ketika, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, meminta air wudhu dan mengajak para sahabat untuk memperhatikan cara wuduh beliau dari awal hingga akhir lalu berkata, “Seperti inilah aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu”.

Dalam kisah yang lain, salah seorang sahabat pernah mempraktikkan sholat dari awal hingga akhir dihadapan para sahabat yang lain, seraya mengatakan, “Kemarilah kalian! Akan aku perlihatkan kepada kalian sifat sholat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang juga melakukan sholat (sebagai imam) dengan berdiri dan ruku’ di atas mimbar untuk memperlihatkan sholatnya kepada para sahabat, beliau mengatakan, “Aku melakukan ini agar kalian mengikutiku dan mengetahui sholatku.”

Contoh metode pengajaran seperti ini sangat sering diterapkan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
Demikian itu karena teori semata sulit untuk dipahami dan membutuhkan waktu yang lama bahkan mudah terlupakan, berbeda dengan apa yang dialami dan dilihat secara langsung. Ini berarti orang tua dan para pendidik tidak cukup hanya menyediakan buku-buku bacaan seputar wudhu dan sholat atau hanya memerintahkan anak untuk melakukan sholat saja, namun mereka juga dituntut untuk memberikan keteladanan berupa praktik amalia di hadapan anak-anak mereka seperti yang dicontohkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaik-baik pendidik, dan para sahabat beliau.


Mengajarkan Sholat yang Benar

Para pendidik dan orang tua harus mengajarkan sholat yang benar kepada anak-anak mereka. Sholat yang benar artinya sholat yang sesuai dengan sholat Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau di atas. Oleh karena itu, sebelum melakukan pengajaran, para pendidik harus memiliki ilmu tentang sifat sholat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak cukup dengan mengikuti sholat kebanyakan orang zaman sekarang, sebab di antara mereka masih banyak yang melakukan bid’ah dalam sholat, baik dengan mengurangi atau menambahi sebagian dari sholat mereka yang tidak ada contohnya dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal sholat merupakan amal yang paling utama yang pelakunya sangat berharap agar sholatnya bisa diterima oleh Alloh Ta’ala, sementara Alloh tidak akan menerima sebuah amal kecuali yang ikhlas karena Alloh semata dan sesuai dengan sunnah (petunjuk/contoh) dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Tidak Mendiamkan Kesalahan

Sebagian orang beranggapan bahwa tidak mengapa membiarkan anak sholat dalam keadaan tidak benar, toh juga masih anak-anak, misalnya membiarkan anak sholat tanpa berwudhu atau berwudhu hanya dengan membasuh telapak tangan, wajah dan kaki saja dengan alasan bahwa anak masih kecil dan belum baligh.

Anggapan ini jelas salah. Perlu diketahui bahwa meskipun hukum-hukum syari’at belum berlaku bagi anak, namun Alloh Ta’ala memerintahkan dan memberi beban kepada para wali untuk memberlakukan hukum-hukum syari’at kepada anak-anak mereka. Anggapan yang salah ini jelas bertentangan dengan perintah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Perintahkan anak-anak kalian untuk menunaikan sholat ketika mereka berusia 7 tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika mereka telah berusia 10 tahun.” (Shohih Abu Dawud 495).

Maksud dari perintah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah agar para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk thoharoh dan berwudhu dengan sempurna, berpakaian menutup aurat dan pundak, berdiri menghadap kiblat, di tempat yang tidak haram untuk sholat di dalamnya, melakukan tata cara sholat dari takbirotul ihrom hingga salam lengkap dengan rukun-rukunnya, fardhu dan sunnah-sunnahnya.

Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sholat malam, lalu Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhum datang mengikuti dan berdiri di sebelah kiri beliau. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutarnya dari arah kiri lewat belakang ke arah kanan beliau (lihat shohih Bukhori 117 dan Shohih Muslim 1824).

Pernah salah seorang Arab badui datang ke masjid lalu melakukan sholat. Setelah selesai dari sholatnya, Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ,

“Ulangi sholatmu, karena sesungguhnya engkau belum sholat.” Maka orang tersebut mengulangi sholatnya seperti sholatnya yang semula hingga 3 kali, sampai akhirnya orang itu berkata, “Wahai Rosululloh, ajarilah aku sholat, sebab aku tidak bisa sholat kecuali dengan cara yang seperti ini (yakni sholat dengan gerakan yang sangat cepat, tanpa thuma’ninah).

Maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya sholat seraya menyampaikan bahwa wajib baginya untuk thuma’ninah pada setiap gerakan dalam sholat.

Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sholat orang ini batal karena meninggalkan salah satu rukun sholat, yaitu thuma’ninah. Sholat yang dianggap batal oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan oleh orang ini banyak sekali dilakukan oleh anak-anak.[1] Sehingga kewajiban para orang tua dan para pendidik adalah membenarkan sholat mereka yang masih salah ini.

Sumber: Majalah Al-Mawaddah Edisi Ke-12 Tahun Ke-2 Vol : 22 :: Rojab 1430 H :: 2009
Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
________________________________________

[1] Sayangnya sholat seperti ini-yaitu cepat dan tidak thuma’ninah juga banyak dilakukan oleh sebagian saudara kita kaum muslimin yang sudah dewasa sekalipun. Semoga Alloh Ta’ala menunjuki mereka dan kita semua ke jalan sunnah.

Sumber : http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/12/28/cara-mengajarkan-sholat-pada-anak/

Photo : Syafani Moslem Corner

Teruntuk yang Aku Cintai....




Manjakan aku dengan ilmu, bukan dengan harta...
Berilah aku bekal yang dapat kubawa untuk membelaku di hadapan Rabb-ku,
Bukan bekal yang dapat membinasakanku dan menyeretku ke dalam naar...
Muliakan aku dengan kasih sayangmu....
Namun jangan kau lupa untuk meluruskanku saat kau lihat kebengkokanku...
Jika kuputuskan untuk menempuh jalan terjal ini,
Maka denganmulah ingin kulalui perjalanan ini....



Al Wakra, 3 Shofar 1433 H / 28 Desember 2011 - 07.13





Semua Ibu Bisa Menyusui

Hambatan muncul karena masih banyak fakta lain seputar ASI yang belum dipahami atau justru malah dilupakan. Berikut penjabaran Ketua Sentra Laktasi Indonesia, dr. Utami Roesli, SpA, MBA.

* Semua ibu bisa menyusui

Penelitian seorang dokter dari Swedia membuktikan bahwa begitu lahir, bayi yang ditaruh di perut ibunya dalam 50 menit akan bergerak ke arah payudara lalu mengisap puting susu dengan benar. Sebaliknya, dari kelompok bayi yang segera dimandikan setelah dilahirkan, baru kemudian dikembalikan kepada ibunya ternyata 50 %-nya tidak bisa mengisap dengan benar walaupun sudah didekatkan ke payudara. Lebih menyedihkan lagi, kelompok bayi yang dimandikan dulu dan ibunya menjalani medicated labour (proses melahirkan yang disertai obat-obatan) tak satu pun dapat menyusu dengan benar.

Jadi tanpa disadari dunia medis pun sebenarnya sudah melakukan intervensi sejak dini terhadap hubungan bayi dengan ASI. Buktinya, hampir semua rumah sakit dan klinik tempat bersalin akan memandikan bayi begitu dilahirkan, sebelum diberikan kepada ibunya. Jamak saja bila ibu yang baru pertama kali hendak menyusui akan bingung menghadapi bayinya yang juga bingung. Jika pengetahuan ibu tentang ASI tidak mendalam, maka ia akan cepat sekali menyerah, bahkan berkesimpulan tidak dapat memberi ASI.

* ASI terhambat oleh stres

Nah, kalaupun ASI sampai tidak keluar umumnya hambatan yang terjadi berkaitan dengan faktor emosional ibu. Perlu diketahui, untuk bisa mengalirkan ASI, ibu membutuhkan refleks yang disebut let down reflex. Refleks ini sangat dipengaruhi kondisi emosi ibu. Walaupun produksi susunya bagus, tapi kalau refleks itu tak bisa dilepaskan, maka susu tidak akan dialirkan dari pabrik susu (Alveoli) ke gudang susu (Sinus Lacteferous). Agar kondisi emosi ini baik, ibu yang hendak menyusui harus tenang dan selalu berpikir positif.

* ASI Umumnya tidak akan kurang

ASI tidak mungkin kurang karena produksi ASI sebenarnya disesuaikan dengan permintaan bayi (demand and supply). Rangsangan produksi ASI adalah pengosongan gudang susu. Di bawah areola ibu terdapat 2 buah jaringan, yang satu “pabrik” susu dan yang kedua sebut saja sebagai “gudang” susu. “Pabrik” akan terangsang untuk memproduksi susu kalau susu di “gudang” sudah habis.” Misalnya, bayi menghabiskan 50 cc susu di “gudang”, maka “pabrik” akan memproduksi lagi 50 cc. Begitu seterusnya.

Kalau sampai bayi kekurangan ASI biang keladinya tak lain cara menyusu yang salah. Jadi, jika bayi harusnya memperoleh ASI sebanyak 100 cc, tapi karena cara menyusunya salah, maka yang didapat cuma 50 cc. Akibatnya “pabrik” pun cuma memasok 50 cc. Faktor lain yang membuat bayi kekurangan ASI adalah intervensi ibu dengan memberinya susu formula.

* Puting susu yang datar tetap bisa menyusui

Seringkali, puting susu yang datar/mendelep dianggap menghambat proses menyusui. Pendapat ini timbul karena banyak ibu menyamakan puting susunya dengan dot, lalu digunakanlah pemanjang puting.

Namun, menurut Utami, pemanjang puting tidak akan banyak berguna. Dalam proses menyusui, sebenarnya yang menjadi dot bukan hanya puting susu, tapi keseluruhan areola (bagian kecokelatan pada payudara). Puting susu sendiri hanya 1/3-nya. Jadi kalaupun puting susunya datar atau mendelep ia masih bisa menyusui karena masih ada 2/3 bagian lainnya. Lagi pula, setelah diisap bayi, puting susu yang datar biasanya akan menonjol keluar. Memang, ada puting yang benar-benar masuk dan terikat jaringan di dalamnya sehingga lubang susunya terbalik. Puting susu seperti ini jelas sulit diisap. Namun persentasenya hanya sekitar 1-2%.

* Payudara merupakan sumber makanan yang tidak henti-hentinya.

Jika payudara “dikelola” dengan benar, maka produksinya tidak akan berhenti. Cara pengelolaannya tak terlalu sulit, yaitu dengan selalu mengeluarkan ASI walau tidak diisap bayi. Jadi, bila karena suatu hal bayi tidak dapat menyusu, misalnya lahir prematur, sakit atau ibu bekerja, ASI harus dikeluarkan dengan cara dipompa atau diperah. Proses ini tidak akan membuat ASI habis, kecuali bila cara memompanya salah.

Salah pompa sama kasusnya dengan posisi menyusui yang salah. Akibatnya ASI sama-sama tidak keluar atau hanya keluar sedikit. Jangan lupa, produksi ASI berlangsung dengan mekanisme demand and supply atau ada permintaan maka ada pasokan. Kalau ASI hanya dikeluarkan 10 cc karena cara pompa yang salah, maka supply-nya pun tak beranjak dari jumlah itu. Inilah yang membuat banyak ibu menyangka ASI-nya habis akibat dipompa.

* Tak perlu selalu memberi 2 sisi payudara setiap menyusui

Memang tak ada salahnya untuk menawarkan sisi payudara yang belum diisap kepada bayi, dengan catatan jika ia menolak tak perlu dipaksa. Prinsipnya, biarkan bayi yang menentukan berapa lama ia menyusu. Kekhawatiran bahwa menyusu yang cuma sebentar tidak akan memenuhi kebutuhannya ternyata tidak beralasan.

Dalam menyusui, pada isapan pertama bayi akan mendapat foremilk. Pada isapan kedua, ia akan mendapatkan susu yang disebut hindmilk. Komposisi keduanya sangat berbeda. Foremilk lebih banyak mengandung air dan protein, sedangkan hindmilk banyak mengandung lemak dan karbohidrat yang berarti lebih kental.

Memang, pada isapan pertama, bayi lebih banyak mendapat susu yang banyak mengandung air. Namun, kalau ia hanya sebentar saja menyusu, tak perlu kita khawatir bahwa kebutuhannya tak terpenuhi. Bisa saja, kan, bayi hanya haus dan tidak lapar? Bukankah yang tahu lapar atau haus hanya ia sendiri? Jadi biarkan bayi yang memutuskan berapa lama ia menyusu. Jika haus ia akan menyedot sebentar, tapi kalau memang lapar ia akan menyusu sampai mendapatkan hindmilk.

* Pompa bisa bikin ASI terkontaminasi

Pompa berbentuk squeeze and bulb yang terbuat dari karet dan berbentuk bola tidak disarankan untuk digunakan karena mempunyai beberapa kekurangan: (1) Kurang steril karena bulb-nya sulit dibersihkan. Dengan demikian, ASI yang dipompa pun akan lebih mudah tercemar. (2) Bulb yang terbuat dari karet akan menyulitkan pengukuran tekanan negatif yang diperlukan. (3) Bentuknya yang kaku dapat membuat payudara lecet. Malahan, cara menekan payudara yang tidak benar bisa merusak jaringannya, sehingga ASI tidak banyak keluar.

Pompa piston (dengan tuas piston yang dapat ditarik dan berbentuk seperti suntikan) ataupun pompa elektrik lebih disarankan. Namun, yang paling baik, karena murah dan higienis, adalah memerah dengan jari. Cara ini lebih praktis karena ibu tidak perlu membawa pompa ASI kemana-mana.

* ASI perah bisa tahan sampai 3 bulan

ASI yang sudah diperah tidak mudah basi. Di udara terbuka saja ASI perah bisa tahan 6-8 jam. Bahkan bisa bertahan sampai 3 bulan jika disimpan dalam freezer. Namun, cara penyimpanan di freezer tidak terlalu disarankan karena ASI akan mengalami perubahan jumlah imunoglobulin. Suhu yang dingin akan merusak molekul protein yang berfungsi sebagai pembangun daya tahan tubuh itu.

Lebih baik, masukkan ASI ke dalam termos atau lemari pendingin biasa karena terbukti ASI perah tidak mengalami perubahan komposisi gizi sama sekali. Hanya mungkin warna dan bentuknya saja yang berubah. ASI dalam termos yang diberi es batu kira-kira tahan 1×24 jam, sedangkan di lemari es bisa tahan 2×24 jam.

* ASI yang sudah “habis” bisa dirangsang kembali

Teknik ini disebut relaktasi. Seorang ibu yang sudah berhenti menyusui, secara teoritis bisa memberikan ASI eksklusif lagi apabila payudaranya dirangsang kembali. Caranya adalah dengan mengonsumsi obat-obatan yang mengandung oksitosin untuk merangsang produksi ASI plus penggunaan alat bantu.

Alat bantu ini bisa berupa lactation aid yang terdiri atas botol plastik yang diisi ASI donor atau susu formula. Botol plastik tersebut akan ditaruh dengan mulut terbalik. Dari ujung tutup botol dialiri 2 buah selang kecil yang ditempelkan di kedua puting susu. Sehingga ketika bayi mengisap payudara, ia akan mendapat asupan susu dari botol. Isapan yang diterima payudara sambil si bayi menyusu dari slang akan merangsang produksi ASI.

Faras Handayani.
sumber: Tabloid Nakita

Yang Luput dari Perhatian

Untuk diperhatikan oleh saya - since my baby has been born...

----

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

Masalah najis bukanlah perkara sepele, melainkan masalah yang sangat urgen, bahkan berkaitan dengan ibadah yang paling besar, yaitu shalat. Oleh karena itu para ulama biasa membahas masalah najis dan kesucian sebelum mereka membahas shalat dan ibadah-ibadah lainnya.

Namun amatlah disayangkan, kaum muslimah yang notabene berperan sebagai ibu terkadang tidak memahami masalah ini. Yang banyak ditemui, mereka tidak berhati-hati dengan air kencing anak-anak mereka. Seorang ibu, contohnya, melihat bayinya yang tergolek di tempat tidurnya pipis. Dengan segera dilepasnya popok si bayi beserta perlengkapannya yang terkena air kencing, lalu dionggokkannya begitu saja di atas tempat tidur. Setelah itu langsung digantinya dengan popok kering, atau kadang dia bubuhkan lebih dulu bedak bayi di tempat keluarnya air kencing. Beres sudah, pikirnya.

Ibu yang lain, anaknya yang sudah mulai merangkak mengompol di lantai. Bergegas diangkat anaknya, dilepasnya celana basah dan digunakan sekaligus untuk mengusap lantai, lalu dia tinggalkan begitu saja lantai yang berbekas air kencing si anak. Tak terpikirkan anak-anaknya yang lain atau siapa pun yang sebentar lagi akan melewati bekas air kencing tadi dan menyebarkan ke mana-mana dengan langkah kakinya.

Bisa jadi yang seperti ini terjadi karena memang mereka tidak mengerti tentang najisnya air kencing anak, walaupun si anak masih bayi. Karena itu, perlu tentunya mereka mengetahui masalah ini. Lebih-lebih –sekali lagi– hal ini berkaitan dengan ibadah shalat.

Sebagian ibu mungkin menyangka, air kencing bayi –terutama bayi yang masih mengonsumsi ASI eksklusif– bukanlah najis. Padahal telah datang keterangan dari Rasulullah n tentang najisnya air kencing bayi laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana dikisahkan dari Ummu Qais bintu Mihshan x:

أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِn، فَأَجْلَسَهُ رَسُوْلُ اللهِ n فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

“Ummu Qais pernah membawa bayi laki-lakinya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah n, lalu Rasulullah n mendudukkan anak itu di pangkuan beliau. Kemudian anak itu kencing di baju beliau, maka beliau pun meminta dibawakan air, lalu beliau memerciki pakaian beliau (yang terkena air kencing, pent.) dan tidak mencucinya.” (HR. Al­-Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287)

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menjelaskan, “Yang dimaksud makanan di sini adalah segala makanan kecuali air susu yang dia minum, atau kurma yang digunakan untuk mentahniknya, ataupun madu yang diberikan untuk pengobatan dan yang lainnya, sehingga yang diinginkan di sini si anak belum diberi makan apapun kecuali air susu semata-mata.” (Fathul Bari, 1/425)

Dalil yang lainnya, dari Abus Samh z mengatakan:

كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّn ، فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ :وَلِّنِي قَفَاكَ. قَالَ: فَأُوَلِّيهِ قَفَايَ فَأَسْتُرُهُ بِهِ، فَأُتِيَ بِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ c فَبَالَ عَلَى صَدْرِهِ، فَجِئْتُ أَغْسِلُهُ، فَقَالَ: يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Aku biasa melayani Nabi n, bila beliau ingin mandi biasanya beliau mengatakan padaku, ‘Balikkan badanmu!’ Lalu aku balikkan badanku dan aku tutupi beliau dengannya. Suatu ketika Hasan –atau Husain– dibawa kepada beliau, lalu kencing di dada beliau. Aku pun datang untuk mencucinya. Maka beliau mengatakan, “Kencing anak perempuan dicuci dan kencing anak laki-laki dicucuri air.” (HR. Abu Dawud no. 376, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Riwayat yang lainnya dari istri Rasulullah n, ‘Aisyah x:

أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ n بِصَبِيٍّ يُحَنِّكُهُ، فَبَالَ عَلَيْهِ فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ

“Pernah dibawa ke hadapan Rasulullah n seorang bayi laki-laki yang hendak beliau tahnik, lalu bayi itu mengencingi beliau, maka beliau pun mengiringinya dengan air.” (HR. Al-Bukhari no. 222 dan Muslim no. 286)

Selain hadits-hadits yang telah disebutkan, masih banyak hadits lain yang menerangkan najisnya air kencing bayi.

Bila hal ini telah jelas, selayaknya kita harus mengetahui pula cara menyucikannya. Apabila si bayi laki-laki dan belum mengonsumsi makanan utama apapun kecuali air susu, maka dihilangkan dengan cara digenangi air. Sementara bayi perempuan atau bayi laki-laki yang telah makan makanan lain selain air susu, maka kencingnya disucikan dengan cara dicuci.

Hal ini telah diterangkan oleh hadits-hadits di atas maupun dalam hadits yang lain. Di antaranya disampaikan oleh Lubabah bintu Al-Harits x:

كَانَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ c فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ n فَبَالَ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ: الْبَسْ ثَوْبًا وَأَعْطِنِي إِزَارَكَ حَتَّى أَغْسِلَهُ. قَالَ: إِنَّمَا يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْأُنْثَى، وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ

“Al-Husain bin ‘Ali c pernah berada di pangkuan Rasulullah n, lalu kencing di situ. Aku pun mengatakan, ‘Pakailah pakaian yang lain dan berikan padaku sarungmu wahai Rasulullah, hingga nanti aku cuci’. Beliau pun menjawab, ‘Sesungguhnya kencing anak perempuan dicuci dan kencing anak laki-laki diperciki dengan air’.” (HR Abu Dawud no. 375, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)

Hadits ini menunjukkan dengan jelas adanya perbedaan antara kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam cara membersihkannya. Kencing bayi laki-laki cukup dipercik dengan air dan tidak perlu dicuci, sementara kencing bayi perempuan harus dicuci dan tidak cukup hanya diperciki air. (‘Aunul Ma’bud, Kitabuth Thaharah bab Baulish Shabiy Yushibuts Tsaub)

Ali bin Abi Thalib z mengatakan pula:

يُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلاَمِ مَا لَمْ يَطْعَمْ

“Kencing bayi perempuan dicuci dan kencing bayi laki-laki dipercik, selama bayi itu belum makan makanan.” (HR. Abu Dawud no. 377, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih mauquf)

Dalam riwayat yang lain ada tambahan dari Qatadah:

هَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا الطَّعَامَ فَإِذَا طَعِمَا غُسِلاَ جَمِيْعًا

“Ini selama keduanya belum makan makanan. Jika keduanya telah makan makanan, maka sama-sama dicuci.” (HR. Abu Dawud no. 378, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Al-Hasan Al-Bashri t meriwayatkan dari ibunya1:

أَنَّهَا أَبْصَرَتْ أُمَّ سَلَمَةَ تَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى بَوْلِ الْغُلاَمِ مَا لَمْ يَطْعَمْ فَإِذَا طَعِمَ غَسَلَتْهُ، وَكَانَتْ تَغْسِلُ بَوْلَ الْجَارِيَةِ

“Dia melihat Ummu Salamah menuangkan air pada kencing bayi laki-laki selama bayi itu belum makan makanan. Ketika bayi itu telah makan, Ummu Salamah mencucinya. Dia juga mencuci kencing bayi perempuan.” (HR. Abu Dawud no. 379, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Demikian tata cara penyucian yang diajarkan dalam Sunnah Rasulullah n, walaupun memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal cara penyucian air kencing bayi ini, sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam An-Nawawi t. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih dalam hal cara penyucian kencing bayi laki-laki dan perempuan menjadi tiga pendapat. Pendapat yang benar, masyhur dan terpilih, kencing bayi laki-laki cukup dipercik (dicucuri) air. Sementara kencing bayi perempuan tidak cukup dipercik (dicucuri) air, tetapi harus dicuci sebagaimana najis yang lain. Pendapat kedua, kencing bayi laki-laki dan perempuan cukup dipercik (dicucuri) air. Pendapat ketiga, kedua-duanya tidak cukup hanya dipercik (dicucuri) air. Dua pendapat ini dihikayatkan oleh penulis At-Tatimmah dari kalangan sahabat-sahabat kami maupun selainnya. Dua pendapat ini adalah pendapat yang syadz (aneh) dan lemah.

Di antara ulama yang berpendapat dibedakannya (penyucian kencing bayi laki-laki dan perempuan, pent.) adalah ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Atha’ bin Rabah, Al-Hasan Al-Bashri, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan sekelompok ulama lain dari kalangan salaf dan ashabul hadits, juga Ibnu Wahb dari kalangan murid-murid Al-Imam Malik, dan diriwayatkan pula dari Abu Hanifah. Adapun di antara yang berpendapat kedua-duanya harus dicuci adalah Abu Hanifah dan Malik dalam pendapat yang masyhur dari mereka berdua, serta penduduk Kufah.

Ketahuilah, perbedaan pendapat ini hanya terjadi dalam hal tata cara penyucian sesuatu yang terkena kencing bayi laki-laki. Namun tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal kenajisannya. Sebagian sahabat kami telah menukilkan adanya kesepakatan ulama tentang najisnya kencing bayi laki-laki, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali Dawud Azh-Zhahiri.

Al-Khaththabi dan ulama yang lain mengatakan, pembolehan memerciki kencing bayi laki-laki menurut orang yang berpendapat pembolehannya bukanlah karena kencing bayi laki-laki ini tidak najis, melainkan sebagai peringanan dalam menghilangkannya, sehingga inilah pendapat yang benar. Adapun pendapat yang dihikayatkan oleh Abul Hasan ibnu Baththal, kemudian Al-Qadhi ‘Iyadh dari Asy-Syafi’i dan selainnya –yaitu pendapat bahwa kencing bayi laki-laki suci sehingga hanya dipercik– merupakan hikayat yang batil sama sekali.” (Al-Minhaj, 3/194)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t pernah pula ditanya tentang hukum kencing bayi yang mengenai pakaian. Beliau pun menjawab, “Yang benar dalam masalah ini, kencing bayi laki-laki yang baru mengonsumsi air susu saja adalah najis yang ringan dan penyuciannya cukup hanya dengan percikan, yaitu digenangi dengan air –dituangi air sampai terliputi oleh air itu– tanpa dikucek maupun diperas. Hal ini telah pasti adanya dari Nabi n, bahwa pernah seorang bayi laki-laki dibawa ke hadapan beliau, lalu beliau letakkan di pangkuan beliau, kemudian bayi itu kencing di situ. Beliau pun meminta air, lalu menuangkannya pada kencing tersebut tanpa mencucinya. Adapun kencing bayi perempuan, maka harus dicuci, karena pada asalnya air kencing itu najis dan wajib dicuci. Hanya saja dikecualikan air kencing bayi laki-laki yang masih kecil karena sunnah menunjukkan hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 11/249)

Terkadang air kencing tak hanya mengenai pakaian, tapi juga lantai. Lebih-lebih bila si anak sudah mulai merambah ke mana-mana, entah merangkak ataupun berjalan.

Jika si anak telah makan makanan, maka hukumnya sama dengan kencing orang dewasa, sehingga disucikan dengan menuangkan air pada tempat yang terkena air kencing itu. Sebagaimana diriwayatkan tata cara seperti ini dari Nabi n oleh Anas bin Malik z:

جَاءَ أَعْرَبِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ n فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ n بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيْقَ عَلَيْهِ

“Pernah datang seorang Arab dusun, lalu buang air kecil di pinggiran masjid. Orang-orang pun segera menghardiknya, maka Nabi n melarang mereka. Setelah orang itu selesai buang air kecil, beliau meminta seember penuh air, kemudian menuangkan air itu pada bekas air kencing itu.” (HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)

Sebaiknyalah air kencing segera dibersihkan, walaupun bisa pula hilang sama sekali bekas itu dengan angin atau sinar matahari selama beberapa hari, karena dikhawatirkan kita lupa bahwa di tempat itu masih ada bekas air kencing.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t pernah ditanya tentang suatu tempat yang terkena najis, kemudian bekas najis itu kering dengan sinar matahari.

Beliau menjawab, “Jika najis itu hilang dengan penghilang apa pun, maka berarti tempat itu telah suci. Karena najis adalah sesuatu yang kotor, jika telah hilang sesuatu yang kotor itu, hilang pula sifatnya (sebagai najis, pent.). Sehingga sesuatu (yang terkena, pent.) pun menjadi suci lagi, karena hukum dalam hal ini tergantung ada atau tidaknya sebab. Menghilangkan najis ini bukan termasuk masalah perintah yang dikatakan harus dilakukan demikian, namun ini termasuk masalah menghindari sesuatu yang harus dijauhi. Hal ini tidaklah tertolak dengan adanya hadits tentang kencingnya seorang A’rabi di dalam masjid dan perintah Nabi n untuk dibawakan seember penuh air lalu dituangkan pada air kencing tersebut, karena perintah Nabi n menuangkan air itu untuk menyegerakan penyucian. Karena tentunya tidak bisa segera suci dengan sinar matahari, bahkan butuh berhari-hari, sementara air bisa menyucikan saat itu juga. Padahal masjid butuh segera disucikan. Oleh karena itu, sepantasnya seseorang segera menghilangkan najis, karena hal ini merupakan petunjuk Nabi n. Juga karena ini akan menghindarkan dari najis sehingga seseorang tidak sampai lupa pada najis itu, atau lupa pada tempat yang terkena najis tadi.” (Majmu’ Fatawa, 11/248)

Yang seperti ini hendaknya diperhatikan sebaik-baiknya oleh para ibu. Tidak sepantasnya hal ini luput dari perhatian kita, agar kita senantiasa dapat menunaikan ibadah kepada Allah l dengan lebih sempurna.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.


1 Ibu Al-Hasan Al-Bashri adalah Khairah, maula Ummu Salamah x (lihat Tahdzibut Tahdzib).

http://asysyariah.com/yang-luput-dari-perhatian.html

Aku tau Engkau Maha Pengampun
Tapi aku takut...
Aku lalai dari taubat kepada-Mu
Aku takut...
Tiba-tiba adzab menghampiriku
Hingga tak ada lagi yang mampu menolongku
Kumohon...
Ampuni aku, duhai Rabbku...

Al Wakrah, 3 Muharram 1433 / 29 Nov 2011

Pelebur Dosa

Tidak ada manusia yang luput dari dosa. Bahkan, manusia adalah tempat dosa dan kesalahan.

Nabi ‘Alaihi ash-Sholatu was Salam bersabda :

كل ابن آدم خطاء، وخير الخطائين التوابون

“Setiap anak keturunan Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” [HR. Imam Ahmad]


Jangan Lupakan Mereka, Anakku...

Hidup di negeri makmur seperti Qatar, tidak banyak potret kemiskinan yg bisa dilihat. Walaupun orang miskin pastinya tetap ada, namun potret kemewahan dan kekayaan menjadi pemandangan yang umum yang menyilaukan bagi yang memandang, terlebih bagi yang menikmatinya.

Di sudut nurani ini, muncul ketakutan.... Kami takut, menjadi insan-insan yang berhati keras. Kami takut anak-anak kami lupa pada mereka yang hidup dalam kekurangan. Makanan dan pakaian yang amat cukup, tempat tinggal yang nyaman, kendaraan, dan berbagai kemudahan mereka rasakan, akankah mereka tahu di balik dunia sana masih ada orang-orang yang mati kelaparan.....?

Potret kemiskinan dan kelaparan ibarat dongeng bagi mereka. Kami hanya bisa bercerita, kami hanya bisa mengingatkan, dan menanamkan belas kasih pada sesama manusia, terlebih jika mereka muslim. Kami hanya bisa mengingatkan bagaimana Nabi mereka Sholallahu 'Alaihi Wassalam membimbing umatnya untuk hidup sederhana. Kadang kami terlalu strict, kadang kami begitu loose. Kami kisahkan, anak-anak yang tidak dapat makan di saat mereka lapar, tidak dapat minum di saat mereka haus, tidak dapat membeli susu, mainan, buku-buku, tidak memiliki rumah dan pakaian yang layak. Seringkali air mata ini menetes ketika menceritakan itu semua. Memang sangat menyesakkan dada, kami hidup dalam kesenangan sementara mereka hidup dalam kekurangan.

Sebuah video tentang kemiskinan dan kelaparan di Somalia yang saya lihat kemarin, telah membuat hati saya teriris-iris. Saya panggil Zahra (4 tahun), saya tunjukkan padanya video itu sebagai pemandangan kongkrit tentang kemiskinan dan kelaparan yang kami ceritakan selama ini. Saya ingin dia tahu, kelaparan bukanlah dongeng, tapi sebuah realita.

Saya jelaskan setiap gambar yang muncul di video. Entah dia paham atau tidak karena penjelasan yang saya berikan bercampur dengan segukan tangis dan air mata.

"Mama, kenapa mama menangis....?"

Ah, Zahra... Mama barusan juga baca seorang ibu Somalia yang meninggalkan anaknya sekarat karena kelaparan dan kehausan demi menyelamatkan jiwa yang lain. Akankah engkau paham perasaan seorang ibu yang terpaksa mengorbankan buah hatinya....? Tidak hanya 1, tapi mungkin 2,3, atau semua anak-anaknya....

Zahra meminta diputarkan kembali video yang dia lihat. Mungkin dia masih ingin memahami apa yang terjadi di video itu.

Seusai menonton video itu, Zahra berkata, "Mama, jangan menangis lagi, ya. Nanti Zahra mau kok kasih shodaqoh. Jangan menangis lagi ya, Ma..."

Semoga engkau menjadi anak shalihah dan ringan tangan dalam membantu sesama, anakku... Jangan pernah melupakan mereka yang hidup dalam kekurangan meski engkau sekarang hidup dalam kecukupan....


Al Wakra, 14 Ramadhan 1432 H / 14 Agustus 2011 jam 08.25


Jurus Jitu Mendidik Anak

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A

Prolog

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.

Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini.

Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!

JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU

Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.

Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.

Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.

Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.

Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.

Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.

Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu apa saja yang dibutuhkan?

Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.

Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabishallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”.

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.

Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,

“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.

Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?

Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.

Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,

“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.

“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.

Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.

Ayo belajar!

Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA

Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.

Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.

Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.

Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak

Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!

Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllahitupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa contoh aplikasi nyatanya

Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.

Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!

Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!

Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.

Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.

Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.

Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah renungan penutup

Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.

Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!

Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??

Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.

Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN

Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.

Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?

Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.

Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..

Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa sih kekuatan keikhlasan?

Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:

  1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
  1. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
  1. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
  1. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْArtinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.

    Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!

Mulailah dari sekarang!

Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.

Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.

Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.

Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN

Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.

Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh aplikasi kesabaran

  1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,”مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu.

    Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.

    Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.

  1. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
  1. Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
  1. Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA

Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.

Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.

Seberapa besar sih kekuatan doa?

Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.

Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallammenjelaskan hal itu dalam sabdanya,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakanhasan oleh Syaikh al-Albany.

Sejak kapan kita mendoakan anak kita?

Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”

“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.

Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.

Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.

Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, hati-hati!

Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.

Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.

Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011

Artikel www.tunasilmu.com dan dipublikasikan kembali oleh salafiyunpad.wordpress.com


Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356),Tafsîr Ibn Katsîr (V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435).

Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-I’tiqâd (hal. 183).

http://salafiyunpad.wordpress.com/2011/08/10/pendidikan-anak-islam/