Hukum Keputihan

PERTANYAAN :

“Apa hukum ifraazaat yang keluar dari farji wanita. Apakah ia membatalkan wudlu atau tidak?"


JAWAB :

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kami memberikan beberapa rambu terlebih dahulu.

Pertama, ketika terjadi perselisihan pendapat, maka wajib untuk mengembalikan urusannya kepada Allah dan Rasul-Nya dimana hal itu merupakan konsekuensi keimanan kita terhadap Allah dan hari akhir.

Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri[5] di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” [QS. Al-A’raaf : 3].

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7].

Kedua, yaitu perkataan sebagian orang :

كل ما خرج من السبيلين ينقض الوضوء

“Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur dan qubul) adalah membatalkan wudlu”

bukan termasuk sabda Al-Ma’shum shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan belum menjadi ijma’ (kesepakatan) umat. Perkataan itu hanyalah diambil dari beberapa dalil yang ada dan menjelaskan bahwa kebanyakan sesuatu yang keluar dari dua jalan dapat membatalkan wudlu’. Dan posisi kami dalam permasalahan ini tidak menyepakati untuk menghukumi berdasarkan kaidah ini, namun kami akan mendiskusikan dan membahasnya dengan perincian (dalil dan permasalahan)-nya. Pada permasalahan kencing misalnya, maka telah ada nash dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa hal itu membatalkan wudlu. Begitu juga dengan kotoran, kentut, darah haidl, darah nifas, mani, dan madzi. Tidaklah termasuk di antara perkara-perkara ini sesuatu pun yang terhitung sebagai pembatal wudlu kecuali berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Namun jika tidak ada dalil, maka lebih baik tawaqufdan berhati-hati bagi seseorang dalam hal agamanya. Telah ada dalil dalam permasalahan ini tentang sejumlah hal yang keluar dari dua jalan tersebut (dubur dan qubul) tidak membatalkan wudlu, seperti : darah istihadlah. Dalam kitab Ash-Shahihdisebutkan bahwa seorang wanita dari istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan ber-istihadlalh. Sebuah bejana diletakkan di bawahnya dan ia kemudian melakukan shalat.

Adapun ifraazaat (keputihan) yang keluar dari farji wanita bukanlah satu perkara yang tersembunyi. Bahkan hal itu terjadi pada kebanyakan wanita. Hal itu bertambah banyak saat kehamilan. Di sisi lain, ifraazaat ini bukan berasal dari tempat keluarnya kencing yang najis. Dikarenakan keadaannya yang tidak tersembunyi, maka para wanita di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun juga mengalaminya dengan jumlah banyak sebagaimana juga terjadi pada wanita di jaman kita sekarang. Dan ketika tidak ada dalil yang kita dapatkan yang menjelaskan bahwa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para wanita) berwudlu’ karena beberapa keadaan tersebut, maka lebih layak bagi kita dan lebih selamat bagi agama kita untuk tidak mewajibkan kepada mereka untuk berwudlu – jika memang Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan kepada mereka.

Atas dasar itu, maka ifraazaat tidak terhitung sebagai sesuatu pembatal wudlu ketika tidak ada dalil shahih dan shaarih yang memberikan keterangan. Wal-‘ilmu ‘indallah.

Sedangkan bagi orang yang mewajibkan wudlu dengan alasan kehati-hatian, maka silakan berhati-hati untuk dirinya sendiri. Namun tidak boleh ia mewajibkan bagi umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para wanitanya dengan apa-apa yang ia wajibkan pada dirinya sendiri.

[5] Telah berkata sebagian mufassiriin mengenai tafsir firman Allah ta’ala : “dan ulil-amri di antara kalian”; bahwasannya yang dimaksud dengannya (ulil-amri) adalah ulama. Sebagian lain mengatakan : “Mereka adalah umaraa’ (pemerintah). Namun secara umum maknanya meliputi ulama dan umaraa’. Wallaahu a’lam.